kali
kali ini pilihan terakhir
kerna dua kelokan lalu membuat aku ragu
hari-hariku adalah bagian dari abad-abad
mengalir pada kali ini menuju ke lautmu
biar koreng dan dakiku hanyut pada air ini
dan kuharapkan pula kerna hulu terlalu jauh
sedang muara entah di mana
jika batas laut tampak ingatkan kembali aku
pada masa aku mengerutuk gambarmu dalam angan
agar aku tetap pada alirmu
pada kali bening sejuk ini
barangkali sampai juga pada lautmu
tempat bersatunya berlaksa-laksa kali
depok, 28 nop ’88
kepada burung sriti
kepada burung-burung sriti yang menangisi hujan
tak datang, aku katakan : sabarlah!
Tuhan tengah memindahkan mega-mega itu.
magelang, 28 agustus ’88
kali 2
pada kedatangan sakitku yang kedua
matahari telah mulai tinggi
kutuk-kutuk lama telah kubiarkan mengalir
hanyut bersama air
kelokan telah kembali pula pada induknya
kali kembali mengalir tenang
dan kuyakin inilah yang pasti mengalir
ke muara – lautmu
depok, 28 nop ’88
cabang dua
masalahnya di balik jendela mana aku harus memandang
dua jendela terbuka sama lebar
menghadap arah yang sama
depok, 29 nop ’88
kali 3
kurinduanku kini tertuju pada dua merpati
yang aku lepaskan dari sangkarnya
untuk menanyakan kabar kapan jadinya kita jumpa
di muara yang mana kita berjumpa
untuk suatu perdamaian
aku masih bertanya-tanya di muara mana kita bertemu
atau masihkan akan kutemui kelokan lagi
aku kira inilah induknya
yang bakal menuju muara sebenarnya
mencapai batas lautmu
mencapai batas lautmu
sementara kubiarkan koreng dan daki hanyut
bersama lelumpuran
kukenang-kenang kembali saat kemarahan kita berdua
ah, tapi betulkah engkau marah
sedang sepi tetap saja tal kudengar
depok, 28 nop ’88
jahiliyah
tuhan-tuhan paslu menangis
di tengah mayat malaikat mereka
yang mati oleh kemurkaan mereka
sampai damai hanya sebuah mimpi
mimpi yang menyemai harapan pada jalan panjang
lalu yang lain
risaukan mimpi yang tak datang jua
risaukan tuhan-tuhan yang berteriak
mendorong dan menyeret mereka kepada perang
risaukan zaman yang semakin tak terpahami
menganiaya dan membelenggu jiwa-jiwa rapuh
depok, juli ’89
Zaman
barangkali kita memang harus berjalan terus
sambil tetap mencoba memahami zaman ini
barangkali zaman yang dulu pernah sirna
bakal datang menjelang di ujung jalan kita
atau justru tengah melanda di antara kita
: saat tuhan-tuhan lain bermunculan
memaksa ketakberdayaan kita untuk tunduk
dan menghamba
bukankah Allah dan Muhammad adalah yang pertama
dan terakhir
bukankah sudah selesai kita renungi dongeng tentang
firdaus dan kesabaran Ayub
barangkali kita harus berjalan terus
sambil tetap memahami zaman renta ini
zaman 2
ada yang ingin kukembalikan kepadamu
anak-anakku yang manis
: dendang berzanji
ada yang ingin kukembalikan lagi kepadamu
: gemuruh kaki-kaki berdebu berkejaran berebut
senja di latar langgar
ada kegelisahan dalam hatiku
kerna kalian tak mengerti alif ba ta
dan alergi dongeng nabi
kerna kalian tak kenal ketegaran Ibrahim
dan kesabaran Ayub
kurban
di sini tak terdengar suara letusan mesiu
hanya takbir dan beduk yang bertalu
dan kambing-kambing itu sedang menunggu
algojo-algojo menebas batang leher mereka
dan lalu darah mengucur ke lobang-lobang pembataian
bukti, ya bukti kepada bumi bahwa masih ada simbol-simbol itu
dalam hidup yang jalan ini
lagipula darah itu adalah darah ketenteraman
kerna tak ada letusan mesiu di sini
kerna ada takbir dan suara beduk di sini
kerna tak ada teriakan tuhan yang membelenggu
dan menganiaya jiwa kita
hari ini damai
juga bagi domba-domba itu
kurban 2
apakah kita akan menjadi domba-domba
yang tanpa berontak – menurut saja
digiring menuju ke atas lobang pembataian
oleh kita sendiri
lalu kita yakin dengan begitu saja
bahwa itu kodrat
atau kita akan menuliskan nama,
umur kita di atas nisan kita
sebab kita tahu
bakal jadi korban selanjutnya
kurban 3
apakah kemenangan kita akan berakhir
seperti kambing-kambing yang tanpa
mengerti sebab apa harus teringkus
di atas lobang pembantaian
kita korban yang keberapa dari tangannya?
Depok, juli ’89
No comments:
Post a Comment