25 August 2010

Fragmen


pada tikungan ke-99



pada tikungan yang ke sembilan puluh sembilan perempuan tua buta itu menghentikan langkahnya yang sudah mulai gemetaran. ditariknya kembali nafasnya lebih dalam, seakan ingin membenahi rasa gugupnya. lalu sembari memandang mentari di kejauhan yang tinggal segaris lengkung saja tenggelam di ufuk barat. disusutnya keringat di keningnya. sengaja ditatapnya sekali lagi matahari merah tembaga itu. seolah ia ingin mengeluh atau entah apa, tapi urung, maka tak ada yang terucap dari bibir tipisnya.


dan ketika sempat ia mendongak, tampak wajahnya yang berpeluh penuh kerutan. tetapi jelas, pada wajah itu masih tersisa masa lampaunya yang cemerlang. pastilah ia seorang wanita cantik jelita dulunya. hidungnya mancung dan matanya yang beralis tebal, meskipun buta, jelas, ya jelas mata itu benar-benar melengkapi kecantikan wajahnya. dan rambutnya yang sudah berubah perak hanya tinggal segenggaman digelung ditusuk dengan sindik gading berwarna kuning.


"usahlah menunggu aku..." desahnya lirih hampir tak terdengar bahkan oleh angin yang lewat di sisinya, sambil kembali menatap ke kejauhan, ke arah sang surya hampir tenggelam. dan matahari itu seakan berhenti mendengar apa yang didesahkan mulut perempuan tua buta berambut perak tinggal segenggam itu. "biarkan aku temukan jalanku sendiri, sayang...! tak usah dikau susah payah membimbingku. tak usah kau menunjuki arah mana mesti kutempuh. ini pasti yang terakhir. ini pasti yang terakhir kali."



serentetan kata-kata lirih terdengar dari mulutnya. diucapkan dengan suara dalam. penuh kekhusyukan menyebut satu nama yang diulang-ulang terus-menerus. dan perlahan tubuhnya melorot hingga jatuh terduduk di tanah. tinggal tongkatnya yang masih berdiri tegak erat-erat dipegang oleh kedua tangannya. perempuan tua buta berambut perak tinggal segenggaman itu tertunduk dalam-dalam. angin seakan terhenti seketika. sepi merentangkan seluruh tangan-tangan gaibnya menangkap senja.
dan gelap pun turun
malam tiba ...





.


margonda , juni 2010

 .........................................: esai-esai






 

23 August 2010

puisi

rumah


kelak di rumah tempat kediamanku dikau akan dapat melepaskan seluruh kelelahan dari perjalanan panjang pengembaraanmu. datanglah. dan hatimu akan selalu merindu. rumah itu menghadap padang tandus maha luas dan tanpa batas. itulah pekarangan rumahku. di sanalah semua utusan turun ke bumi. bakal dikau saksikan. dari segenap penjuru mataangin mereka melesat turun dan naik. serupa cahaya. serupa cahaya. dengan senyum dan penuh keramahan mereka akan datang singgah ke rumahku sebelum melunaskan seluruh tugas. bertegur sapalah. beramah tamahlah.
kelak rumah kediamanku adalah tempat singgah dan peristirahatan bagi para pengembara yang kelelahan seperti dikau.
kelak rumah kediamanku adalah masjid dan gereja, pura dan vihara bagi pengembara lelah seperti dikau.
kelak rumah kediamanku adalah perpustakaan abadi tempat pengembara kelelahan seperti dikau mereguk seluruh ilmu yang tak pernah kau temu.
kelak rumah kediamanku adalah mimbar bagi para pengembara kelelahan seperti dikau.
kelak rumah kediamanku adalah graha tempat merundingkan seluruh perdamaian dari peperangan panjang...


Margonda, Agustus 2010






03 August 2010

di stasiun dan sms oneng


di stasiun

tiba-tiba saja kau bertanya di stasiun mana aku sedang menunggu. 
tak kuduga kau tergugah juga sms isengku beberapa bulan yang lalu
aku memang masih di stasiun itu
tempat aku tak pernah jemu-jemu
terus menunggu
dan tak perlu aku kisahkan kembali harubiru masa dulu
di sinilah tempat untuk menunggu
tapi jangan,  jangan sekali-kali dikau bayangkan 
stasiun tempatku kini menunggu
seperti stasiun-stasiun kota 
di mana kereta selalu datang pergi tepat waktu
datang begitu cepat dan secepat itu pula segera berlalu
bayangkanlah aku yang perempuan dan perawan
menunggu berhari-hari berbulan-bulan
sampai rambut jadi beruban
menunggu berhari-hari berbulan-bulan
sampai bangku peron jadi karatan
o, tapi apalah peduliku
berhari-hari berbulan-bulan
menunggu sampai rambut jadi beruban
toh mereka, juga dikau, tak pernah tahu
aku sedang menunggu kereta yang menjemputku PULANG


margonda, 2005







SMS Oneng

dengan sinis kau mengejekku
kamu seperti filsuf. kamu seperti sufi
kamu seperti ahli tasauf. kamu sok seperti nabi
kamu sebetulnya sedang menimba apa?
agama kamu bisa. sastra kamu juga biasa
dan matematika kamu tak percuma
tapi politik kau singkirkan karena kau bilang takut jadi gila
ah, kamu seperti oneng!
kututup sms darimu. kupejamkan mata. lalu tersenyum dan geli di dalam hati
oneng? gumamku
lalu kutulis sms membalas ejekan lucumu itu:
oneng yang mana?
tetangga sebelah rumahku namanya oneng
teman ibuku yang sibuk di pkk dan posyandu namanya oneng
guru sosiologiku di sma dulu cantik sekali
dan banyak murid lelaki kesemsem jatuh hati padanya, namanya juga
bu guru oneng
teman kostku dulu juga oneng
aku cemburui gadis yang pernah merebut kekasihku, namanya pun oneng
cut nya’ dien, martina marta tiahahu, ibu kita kartini putri sejati, madam theresia,
ibu tien, margareth teacher, madam hilary clinton, ratu elizabeth, corazon,imelda,
semua sama: oneng juga
ken arok si maling brandal pencoleng kampung yang jadi raja singosari itu,
kamu tahu? nama ibunya kamu tahu? juga oneng!
bahkan janda tunggul ametung yang kemudian dikawininya itu juga bukan ken dedes, melainkan oneng!
ibunda osama bin laden, nurdin m. top, dan azahari: juga oneng!
kuterima dengan senang hati kau sebut diriku oneng
karena aku memang oneng
janga-jangan kamu juga oneng
ibumu juga oneng
nenekmu juga oneng
oneng!
oneng duduk di kelas satu
oneng mengajar kelas satu
oneng murid oneng. oneng guru oneng
oneng menjadi murid
oneng menjadi guru
oneng menjadi kepala sekolah
oneng menjadi komite sekolah
oneng menjadi penilik
oneng diajar oneng. oneng diawasi oneng
oneng semua oneng
oneng
oneng


margonda 2005